Jumat, 17 Februari 2012

Psikologi Kognitif


Sistem Pembelajaran Cooperative Learning
Sistem pembelajaran Cooperatie Learning dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar yang terstruktur. Dalam pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning, model pembelajaran tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur  dasar pembelajaran Cooperative Learning yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan.  Apabila pengajar hanya membagi siswa dalam kelompok lalu memberi tugas untuk menyelesaikan sesuatu tanpa pedoman mengenai pembagian tugas,. Akibatnya siswa merasa ditinggalkan sendiri, dan karena belum berpengalaman mereka merasa bingung dan tidak tahu bagaimana harus bekerja sama menyelesaikan tugas tersebut. Kekacauan dan kegaduhanlah yang terjadi. Pelaksanaan prosedur Cooperative Learning dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif. Ada lima unsur pokok yang termasuk dalam struktur Cooperative Learning ini, yaitu: saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerjasama, dan proses kelompok.
Teknik yang digunakan dalam Cooperative Learning ini dalam rangka meningkatkan pembelajaran siswa pada tahap operasi kongkrit menuju operasi formal, yaitu gabungan  antara teknik kepala bernomor dan keliling kelas. Adapun langkah-langkahnya :
v Siswa dibagi dalam kelompok , dan setiap siswa dalam kelompok mendapat nomor
v Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok bekerja sama dalam kelompoknya seperti biasa untuk menyelesaikan tugas tersebut
v Setelah selesai, masing-masing kelompok memberi laporan hasil kerja mereka. Hasil-hasil ini bisa ditulis di table seperti yang dicontohkan oleh guru di papan tulis.
v Masing-masing kelompok mengamati hasil kerja sama mereka dan hasil kerja sama kelompok-kelompok lain, kemudian masing-masing kelompok menarik kesimpulan dari tabel tersebut.
v Masing-masing kelompok memutuskan kesimpulan yang paling benar sebagai jawaban dari tugas yang diberikan guru, dan memastikan setiap kelompok mengetahui jawabannya.
v Guru memanggil salah satu nomor siswa dan nomor yang dipanggil harus melaporkan hasil kerja sama mereka.

Berdasarkan asumsi diatas,yaitu mengenai ciri-ciri tahap operasi kongkrit, operasi formal dan penjelasan mengenai pembelajaran Cooperative Learning, serta mengacu pada implikasi Teori Piaget dalam dunia pendidikan, yang meliputi: 1) pendekatan berpusat pada anak, 2) aktifitas yang merupakan inisiatif sendiri, atau aktif bisa menemukan sendiri dan guru memberi peluang untuk belajar, 3) belajar secara individu, 4) interaksi sosial/ interaksi dengan orang lain, diharapkan dengan pembelajaran Cooperative Learning ini terjadi konflik pada diri siswa (disequilibrium) sebagai proses berkembangnya intelektual siswa setelah mengalami proses pembelajaran. Yang paling penting, guru sebagai fasilitator harus benar-benar menerapkan lima unsur model pembelajaran Cooperative Learning ini.
Dalam pembelajaran Cooperative Learning, siswa dituntut untuk lebih aktif, kreatif dan dapat berinteraksi dengan teman, khususnya yang menjadi kelompoknya. Sedangkan pada tahap operasi kongkrit akhir, anak sudah mulai dapat mengemukakan ide-idenya, anak sudah mulai dapat menerima pendapat orang lain. Terutama dalam proses belajar mengajar, anak perlu bertukar pengalaman, memberikan alasan dan mempertahankan pengetahuan. Interaksi sosial mengarahkan anak pada penyusunan argumentasi dan diskusi, sehingga cara pandang anak dipertanyakan kebenarannya dan si anak harus dapat mempertahankan dan membuktikan kebenaran cara pandangnya. Hal ini sejalan dengan implikasi pandangan Piaget, bahwa peranan interaksi sosial di sekolah perlu dibina, dengan bertukar pengalaman, memberikan alasan dan mempertahankan pendapatnya merupakan cara yang penting untuk memperoleh pengetahuan.
Sedangkan keaktifan siswa dalam Cooperative Learning, sejalan dengan implikasi Piaget yang mengemukakan bahwa bagi individu berapapun umurnya, proses belajar yang paling baik didapatkan dari aktifitas yang merupakan inisiatif sendiri. Dalam pembelajaran Cooperative Learning ini guru sangat berperan besar untuk menumbuhkan niat dan kiat para anggota kelompok dalam rangka bekerja sama dengan orang lain. Seorang guru harus dapat mengelola kelas model Cooperative Learning ini, yang bertujuan untuk membina pembelajar berinteraksi dengan pembelajar lainnya. Ada 3 (tiga) hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas model Cooperative Learning, yaitu: pengelompokan, semangat kerja sama, dan penataan ruang kelas.
Selain yang telah diuraikan di atas, dalam Cooperative Learning pun dapat ditemukan bahwa anak bukan hanya dapat bekerja dalam kelompoknya saja, tapi anak di tuntut untuk dapat meningkatkan kemampuan diri (bekerja secara individual), karena penilaian yang di dapat untuk kelompok berdasarkan hasil kerja masing-masing anggota kelompok yang digabungkan dan dijadikan nilai untuk kelompok tersebut. Selain itu dalam Cooperative Learning setiap anggota mengerjakan tugasnya sesuai dengan kemampuannya, siswa dibimbing untuk bekerja lebih efektif dan kreatif sesuai dengan  kemampuan masing-masing dalam kelompok. Sedangkan menurut Piaget, struktur kognisi anak yang berinteraksi dengan pengalaman baru menimbulkan minat dan menstimulus perkembangan kognisi yang lebih lanjut. Disinilah peran guru sangat besar untuk meningkatkan pembelajaran siswa, guru harus dapat menyajikan pengetahuan yang menarik minat dan mendorong kreatifitas anak, serta dapat membantu anak jika diperlukan.
Melihat ciri-ciri tahap ini, anak sudah dapat mengikuti teknik pembelajaran Cooperative Learning yang disajikan dalam rangka meningkatkan belajar mereka. Selain itu, apabila melihat implikasi teori piaget dalam dunia pendidikan, pembelajaran Coopertive Learning ini bisa menjadi alternatif yang sesuai untuk digunakan dalam rangka meningkatkan pembelajaran matematika siswa.
Berikut ini akan disajikan topik yang merupakan contoh Penerapan Pembelajaran Cooperative Learning dalam Pembelajaran matematika. Namun satu hal yang harus diingat, bahwa meskipun suatu topik untuk tingkat SLTP tapi tidak berarti topik itu hanya untuk SLTP dan tidak dapat digunakan untuk tingkat yang lebih rendah atau tinggi, bisa saja dugunakan untuk tingkat mana saja, asalkan pendekatannya disesuaikan dengan tingkat siswa itu.
Topik                    : Pengukuran
Konsep                 : p dan panjang keliling lingkaran
TPK                     : Melalui pengukuran langsung akan ditunjukan bahwa panjang keliling lingkaran              dibandingkan dengan panjang garis tengahnya adalah tetap. Bilangan tetap ini adalah p.
Kelas/Tingkat        : SD akhir
Prasyarat               : Lingkaran
Bahan/Alat            : Benda-benda lingkaran yang keliling dan garis tengahnya dapat diukur, misalnya: tabung, botol, gelas, batang bambu, kaleng susu, dll. ; tali 0,5 meter; sebuah jangka sorong pengukur garistengah bola (bila ada).
Metode                 : Penemuan, Laboratorium
Kegiatan               :
Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 orang, sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran Cooperative Learning. Setiap kelompok diberi benda-benda yang dapat diukur keliling dan garistengahnya. Benda-benda itu misalnya I, II, dan III (lihat Tabel halaman berikutnya).
Anak pertama mengukur panjang keliling, anak kedua mengukur jari-jari, anak ketiga mencatatnya,dan anak keempat menyaksikan (kalau-kalau ada kesalahan mengukur/ mencatat). Laporan setiap kelompok diharapkan dalam bentuk tabel berikut :
Benda
Panjang keliling = k
Panjang garistengah = t
k/t
I
II
III
31,43 cm
10,37 cm
67,57 cm
10 cm
3,3 cm
21,5 cm
3,1430
3,1429
3,1428
 Laporan di atas adalah dari kelompok pertama, laporan kelompok 2, 3, ....,dan seterusnya juga seperti begitu. Kemudian anak diminta untuk memperhatikan nilai k/t darisemua benda yang telah diukur. Siswa disuruh mendiskusikan dengan teman-teman dikelompoknya masing-masing dan harus dipastikan bahwa setiap anggota dalam kelompok tersebut mengetahui hasil diskusi tersebut. Karena setelah beberapa saat kemudian guru akan menanyakan hasil pengamatan mereka mengenai laporan yang tercantum ditabel-tabel, kepada salah satu siswa yang nomornya disebutkan (ingat langkah-langkah pembelajaran Cooperative Learning), sehingga tidak ada siswa yang tidak memperhatikan dan tidak terlibat dalam diskusi kelompoknya.
Apabila suatu kelompok sudah dapat menyimpulkan bukan hanya nilai k/t disekitar 3,14 atau p = 3,14 akan tetapi dari k/t = p dapat ditentukan bahwa k = p x t atau k = 2  pr, maka kelompok tersebut mengalami keadaan yang lebih maju daripada yang lain. Selain itu terdapat peran aktifitas dan inisiatif anak. Ini menunjukan disequilibrium (anak merubah strukturnya, dari yang rendah ke yang tinggi). Aktifitas anak menunjukan usaha penemuan penyelesaian masalah yang dihadapi, dengan demikian terlihat equlibrasi mengandung konflik antara sistem yang ada,akomodasi yang dilakukan oleh si anak terhadap problem-problem baru ke dalam pikiran-pikirannya dan menyesuaikan diri terhadap cara berpikir.
 
Rajukan Pustaka :
Kusdwiratri, S. (199 ). Diktat Teori Perkembangan Kognitif. Bandung: tidak diterbitkan
Lie, A. (2002). Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Membantu GuruMengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar